BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masih banyak anak yang diperlakuan tidak
selayaknya yang ia terima terutama di Indonesia. Banyaknya kejadian ini karena
faktor ekonomi yang tidak memadai sehingga anak kehilangan hak yang seharusnya
ia dapati layaknya anak-anak lainnya. Padahal dapat diketahui banyak
undang-undang yang menjaga hak-hak anak. Selain itu banyak pula contoh kasus seperti penculikan anak,
kasus perdagangan anak, anak yang terpapar asap rokok, anak
yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses
sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang
tidak punya akta kelahiran. Dari data induk lembaga perlindungan anak yang
ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada
tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak
13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus.
Disamping itu Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama
periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan
seksual dari orang terdekat mereka. Bahkan PBB telah mendirikan
organisasi khusus tentang anak yang dinamakan UNICEF. Ini ditekankan khususnya
terhadap keluarga agar mengetahui bahwa pentingnya menjaga hak-hak anak agar
menjadi manusia seutuhnya dikemudian hari.
1.2. Rumusan Masalah
Suatu negara itu dapat dikatakan sebagai
negara yang maju bukan hanya dilihat dari perkembangan ekonominya saja, akan
tetapi sebuah negara yang maju harus dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya
terutama dalam hal keamanan dan kenyamanan terutama anak-anak sebagai bibit dan
ujung tombak kemajuan bangsa. Oleh karena itu pemerintah harus lebih
memperhatikan kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan Kekerasan Terhadap
Anak.
Dan beberapa pertanyaan untuk
melaksanakan semua itu adalah:
- Apakah yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak?
- Bagaimana
solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak?
- Apa hak-hak yang harus diterima anak?
- Apa
Undang-Undang atau peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak?
Seperti yang dipaparkan di atas, keempat
poin itulah yang akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini. Dengan berbekal
penelitian dan buku referensi, maka kita akan menemukan suatu penjelasan
terbaik mengenai pentingnya hak perlindungan anak.
1.3. Tujuan
Penelitian
Dengan dilakukan penelitian tentang pentingnya
Perlindungan Anak di Indonesia, maka akan bisa diketahui lebih lanjut mengenai sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak,
Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan tindakan
kekerasan., Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan, Mencari
solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, Mencari tahu penyebab
terjadinya kekerasan terhadap anak. Selain itu, dengan adanya pembahasan
ini, bertujuan agar public mengetahui bahwa pentingnya dalam melindungi
anak-anak serta memberikan hak yang seharusnya ia dapati. Dan saya berharap
agar karya ini dapat hendaknya menguragi angka kekerasan khususnya terhadap
anak.
1.4. Manfaat Penelitian
Seperti yang sudah sering disebutkan sebelumnya,
penelitian mengenai Hak Perlindungan Anak akan sangat bermanfaat untuk
memberikan kesadaran masyarakat akan pentingnya dalam melindungi anak-anak
serta memberikan hak yang seharusnya ia dapati. Tentunya setiap pekerjaan
memiliki tujuan serta manfaat masing-masing. Manfaat Penulisan dari karya
ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya kekerasan terhadap
anak tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat perlindungan
dari Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap
sehingga emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan.
Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun
anak.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada
anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah
tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung
melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih
mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau
tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini
dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol
dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga
perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan
pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga
berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi
nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez,
2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan
luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan,
pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez
(2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan
perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/
jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak
tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya
dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
2.2 Sebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak
Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai
anaknya. Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya
mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya
menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa
secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan
anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau
emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan
pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian,
sosial dan budaya. Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor
penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu
sebagai berikut :
2.2.1Penyebaran perilaku
jahat antar generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.
2.2.2 Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
2.2.3 Isolasi sosial
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.
2.2.4. Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak. Sebagai contoh :
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau
istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka
akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa
banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak
kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya
para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.
2.3 Dampak Kekerasan Pada Anak
Efek tindakan dari korban penganiayaan
fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis;
ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi
dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa
terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan
fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi
sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.
Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9
tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang
ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang
mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan
setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi
orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan
bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap
anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal
dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986)
mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan
penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia
nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut
gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.
Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa
karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti
kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak,
menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut
Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap
pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi
seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan
eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai
sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi
pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari
yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan
pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit
perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang
paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan
kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak
kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak
aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami
masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya
(dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan
menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam
pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk
keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
2.4 Solusi Untuk Mencegah Terjadinya
Kekerasan Terhadap Anak.
Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 :
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 :
1).Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain.
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain.
Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak.
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak.
Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
Orang tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
2.5 Upaya Yang
Dilakukan Pemeritahan
Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit
di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik
laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi
yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah
meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4).
Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak
yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH
Pidana.
Oleh
karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun
2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram
dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat
melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan
dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Landasan teori yang tersaji dalam Bab
sebelumnya masih memerlukan penyempurnaan. Untuk menyempurnakan sebuah karya
ilmiah, tentulah penelitian sangat dibutuhkan. Suatu data mentah yang sudah
tersedia di sekitar kita, sangat perlu diolah kembali melalui penelitian
apabila ingin membuahkan hasil. Begitu pula dengan karya ilmiah ini. Agar
isinya dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan, tentunya akan dilakukan
penelitian, melalui metode yang penulis anggap cocok untuk menyempurnakan
penelitian di karya ilmiah ini.
3.1. Jenis Data
Data yang dapat diambil untuk sebuah
penelitian, dapat terbagi menjadi beberapa, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diambil langsung dari lapangan atau
tempat objek penelitian berada. Sedangkan data sekunder adalah data yang sebelumnya
memang sudah tersedia di berbagai sumber seperti inernet, buku-buku referensi,
dan lain sebagainya (intinya tidak diambil langsung dari lapangan oleh si
peneliti).
Data yang diambil oleh penulis untuk
melengkapi karya ilmiah ini adalah data sekunder, spesifiknya data yang berasal
dari buku-buku referensi, juga dari sumber internet sebagai data tambahan,
untuk bisa menghemat waktu, tenaga, dan biaya.
3.2. Metode Penelitian yang akan
Digunakan.
Pada sub-bab sebelumnya kita telah
mengetahui jenis data yang akan diolah oleh penulis, yaitu data sekunder.
Namun, data-data tersebut tidak akan berarti besar apabila tanpa diikuti oleh
sebuah penelitian. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode Library
Research atau penelitan kepustakaan. Adapun menggunakan metode Internet
Reseach hanya untuk mendapatkan data tambahan yang bisa memperkuat
data-data yang berasal dari buku.
BAB IV
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya, kita akan bisa mengetahui lebih
banyak mengenai Kekerasan Terhadap Anak dan Mengatur Hak Hak Perlindungan Anak
yang terdapat pada Pasal-pasal Undang Undang yang mengandung perlindungan anak.
Pembahasan mengenai hasil penelitian tersebut akan dibahas pada beberapa
sub-bab berikut ini.
4.1.Pembahasan Pengertian Anak.
Menurut John Locke (1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka
terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Sobur
(1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan,
sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono
(1992), berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak
merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk
belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam
kehidupan bersama. Augustinus (1987), yang dipandang sebagai
peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama
dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum
dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian
terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh
yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.
4.2. Pembahasan Mengenai Hak-Hak Anak.
• Anak berhak mendapatkan nama dan kewarganegaraan(Pasal 7)
• Tidak
ada satu pihak pun bisa seenaknya merubah identitas dan kewarganegaraan anal (Pasal 8)
• Anak memiliki hak berkarya, berpendapat dan
berkumpul (Pasal 12, 13, 15)
• ANAK memiliki hak berkarya, berpendapat dan berkumpul
(Pasal 12, 13, 15)
• ANAK berhak mendapat dan mengetahui informasi yang
bermanfaat (Pasal 13 & 17)
• Kehidupan
pribadi Ku, harus dilindungi dari campur tangan semena-mena dan berbagai
serangan (Pasal 16)
• Anak
harus dilindungi dari tindak kekerasan dan perlakuan seenaknya (Pasal 37 (a))
• ANAK
berhak diasuh oleh orangtua dengan penuh kasih saying dalam keluarga bahagia
sampai dewasa (Pasal 5)
• Apabila
orangtua tidak mampu mereka harus dibantu agar ANAK terhindar dari bahaya Namun
apabila orangtua mengancam kelangsungan hidup KU (Pasal 19)
• Maka
ANAK berhak dicarikan orangtua asuh yang bias menjaga dan memelihara (Pasal 20) Atau iangkat
anak secara hukum dengan kepentingan terbaik sebagai pertimbangan utama
(Pasal 21)
• ANAK berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
baikPasal 24Agar tetap sehat ANAK
perlu gizi, pakaian dan tempat tinggal yang sehat pula Pasal 26
• Meski ANAK berbedakemampuan baik jasmani dan rohani
Anak tetap harus mendapat pendidikan dan perawatan khusus Pasal 23
• Pendidikan
sangat penting ANAK berhak mendapatkannya walaupun keluarga Ku miskin Pasal 28
• Dengan
pendidikan ANAK bias tumbuh menjadi manusia berguna menghargai sesama serta
memiliki kemampuan dan ketrampilanPasal
29
• Agar
ANAK bisa berkembang, rekreasi dan mengikuti kegiatan budaya menjadi hak Ku
pula Pasal 31
• Ketika
ada bencana alam atau kekacauan, terpaksa menjadi pengungsi, ANAK berhak memperoleh
perlindungan dan bantuan kemanusiaan Pasal 22
• Apabila
terjadi perang jangan paksa ANAK menjadi tentara Pasal 38
• Dalam
perang ANAK lah yang paling sering jadi korban, maka lindungi dan rawatlah ANAK Pasal 39
• Manakala
ANAK terlibat kejahatan hukumlah ANAK sejauh tidak melanggar hak-hak yang
ANAK miliki Pasal 37
• Jangan biarkan ANAK berada dan tenggelam dalam keadaan
yang tidak menyenangkan dan mengancam jiwa anak
• Jangan paksa ANAK bekerja seperti orang dewasa Pasal 32
• Jangan jerumuskan ANAK untuk menggunakan narkotika,
obat-obatan terlarang dan minuman keras Pasal 33
• ANAK
harus dilindungi dari Kekerasan SeksualPasal
34
• ANAK harus dilindungi dari penculikan, penjualan dan
perdagangan anak Pasal 35
• Apabila ANAK kelompok minoritas, hak-hak anak tidak
boleh diingkari termasuk penghargaan terhadap budaya, agama dan
bahasaku Pasal 30
4.3. Pembahasan Mengenai Kewajiban dan Tanggung Jawab
Siapa Anak.
Yaitu negara melalui pemerintah, DPR/D dan kehakiman dengan membuat
bermacam-macam peraturan terhadap perlindungan anak yang mana Negara
berkewajiban atas menghargai,melindungi UU
No. 23/2002 dan memenuhi hak-hak anak sedangkan yang bertanggung
jawab terhadap anak adalah orang tua dan masyarakat dalam melaksanakan hak-hak
anak agar anak kelak menjadi manusia seutuhnya
4.4. Pembahasan Mengenai Undang-Undang Yang
Mengatur
Perlindungan Anak Di Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sudah disahkan selama dua tahun, tetapi pelaksanaan
di lapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Masing-masing pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan undang-undang itu menyampaikan sederet persoalan
yang secara nyata mereka hadapi sehari-hari di lapangan dalam pelaksanaan
undang-undang tersebut.UNDANG-Undang Perlindungan Anak diadakan dengan tujuan
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4.5. Pembahasan Mengenai Pengertian Kekerasan.
Pengertian kekerasan dalam RUU KUHP
adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa
menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan,
nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan
orang pingsan atau tidak berdaya. Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau
keadaan yang menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang
yang diancam. Secara fitrah Allah telah menganugerahkan rasa kasih
dan sayang orangtua kepada anaknya sebagai modal awal untuk melakukan
pengasuhan dan pendidikan anak
4.6. Pembahasan Mengenai Angka Kekerasan
Terhadap Anak
Sejumlah peraturan terkait perlindungan
anak dinilai tidak bergigi. Kurangnya sosialisasi perundang-undangan tersebut
membuat eskalasi kekerasan terhadap anak tetap tinggi. Sebanyak 25 juta anak
Indonesia pernah mendapat tindak kekerasan. Angka itu kemudian dinilai
mengkhawatirkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda
Amalia Sari Gumelar.
Data ini dihitung berdasarkan hasil
survei kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2006, yakni sekitar 2,29 juta
anak pernah menjadi korban kekerasan. Sementara jumlah penduduk anak menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga pertengahan 2009, tercatat 85.146.600
jiwa atau 38,86 persen dari penduduk Indonesia.
"Jika persentase kekerasan
2009 dianggap sama dengan 2006, berarti ada sekitar 25 juta anak pernah
mendapat tindak kekerasan. Ini sudah mengkhawatirkan, perlu ada kebijakan
pencegahan dan penanganan," kata Linda seusai peluncuran Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlundungan Anak Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak
di Ja-karta, Jumat (19/3).
Sebenarnya sejumlah peraturan
terkait perlindungan anak sudah dibuat, di antaranya UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang PKDRT.Namun keberadaan
UU tersebut tidak membuat tingkat kekerasan terhadap anak menurun.
BAB V
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
Anak adalah makhluk sosial yang
membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak
juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang merupakan totalitas
psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada setiap fase
perkembangan. Kekerasan pun dalam pandamngan islam dinilai tidak baik dan bukan
suatu solusi dalam sebuah masalah.
Kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan
terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi
(Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya
kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah
tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke
pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan
di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang
percaya diri, pendendam dan agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti,
menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan
kecenderungan bunuh diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual
maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah
diri.
Saran
Dengan adanya tulisan ilmiah mengenai
pentingnya perlindungan terhadap anak, saya berharap dengan adanya ini pembaca
mengetahui dan memahami apa yang seharusnya dilakukan terhadap anak
Seharusnya Negara melalui pemerintah,
DPR/D dan kehakiman memenuhi, memelihara serta menjaga hak-hak yang harus
diperoleh oleh anak serta keluarga dan masyarakat lebih memahami peran.
Dan Dokter sebagai klinisi yang
bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam mengenali segala
kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali dari
kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada
korban penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis
pada kasus kecelakaan biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam
mengenalinya.
Dokter mempunyai kewajiban untuk
mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian bekerjasama dengan pihak lain
seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam penindaklanjutan kasus
penyiksaan dan penelantaran anak.
Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik tidak berupah
dengan kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap
Anak Jakarta :Penerbit Nuansa,Emmy
H. Muchji Achmad (2007). Pendidikan
Kewarganegaraan Gunadarma, Jakarta :Penerbit Et Alle.
Hakim,Andi nasution.2001.Pendidikan
agama dan aklak bagi anak dan remaja.Jakarta:Wacana Ilmu dan Pemikiran.
Hurlock, Elizabeth B., 1973. Adolescent
Development. Tokyo: Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd,
Hurluck, E. , 1990. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
M.Irvan.wahid, abdul. Huda,
khairul.2004.Pendidikan HAM Modal Fundamental Bagi Anak Didik Indonesia.Jakarta:CV
Fauzan Inti Kreasi.
Mafrukhi dkk.
(2006). Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit Erlangga.
Nasution ,Andi hakim.1992.Panduan
Berfikir dan meneliti secara Ilmiah bagi Remaja.jakarta:PT Gramedia
Widiasarana.
Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan
Terhadap Anak.
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak
Sumber:
Komisi Perlindungan
Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload
September 2007.http://www.setneg.go.id
No comments:
Post a Comment